Review Unable
to see the forest for the trees: ecotourism development in
Solomon
Islands
Dalam buku: “Tourism and Indigenous Peoples”
Penulis: Brenda
Rudkin and C. Michael Hall
Pengantar
Tulisan
ini merupakan tugas mata kuliah Dimensi Sosial Budaya Pariwisata yang disajikan pada tahun akademik 2013/2014
di Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Tulisan ini merupakan hasil review saya atas
artikel yang di tulis oleh Brenda Rudkin dan C. Michael Hall dalam buku
“Tourism and Indigenous Peoples”. Tulisan ini berkaitan dengan pengembangan
ekowisata di Kepulauan Solomon. Teknik review yang saya terapkan di sini adalah
melakukan penyimpulan terhadap artikel tersebut, dan selanjutnya diikuti dengan
mengemukakan pandangan kritis saya, sepanjang itu dimungkinkan.
Pendahuluan
Keanekaragaman budaya dan keindahan alam Pasifik Selatan menjadi motivasi utama bagi banyak wisatawan untuk menikmati
lingkungan alam dan mencari pengalaman. Ketika terjadi perubahan pola wisata,
dari mass tourism ke small group dan individual tourism. Wisata
baru ini merupakan pola wisata yang bertanggung jawab terhadap alam, keinginan
wisatawan dalam memanfaatkan alam tidak terjadi kerusakan. Mereka menghendaki
berwisata dalam hutan yang alami, air sungai yang bersih, flora dan fauna yang
beranekaragam (Aronson, 2000). Proses pergeseran wisata ini telah dapat
diketemukan di beberapa Negara, termasuk Negara kepualauan Solomon. Pemerintah
mempromosikan ekowisata sebagai bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap alam dan
menjadikan ekowisata sebagai bisnis alternatif dalam menggerakkan ekonomi dan
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Kepulauan Solomon mendapat bantuan
dari berbagai pihak asing untuk menerapkan ekowisata sebagai bentuk pariwisata
dengan kegiatan yang bertumpu pada konservasi yang akan
bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat lokal serta menjamin
kelestarian sumberdaya alam dan berkelanjutan. Artikel
tulisan Brenda Rudkin and C. Michael Hall akan membahas hubungan antara
proposal pengembangan pariwisata dan masyarakat adat.
Pariwisata di Kepulauan
Solomon
Kepulauan Solomon merupakan wilayah kepulauan di samudra pasifik yang terletak di
sebelah timur Papua Nugini dan merupakan bagian dari Persemakmuran. Terdapat enam pulau utama Solomon,
yaitu Guadalcanal, Malaital, Santa Isabel, San
Cristobal, Makira dan Sikaiana. Total
populasi Solomons pada tahun 1989 diperkirakan 307.600 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 3,5% dan merupakan salah
satu yang tertinggi di dunia. Solomon memiliki sumber daya utama
berbasis ekonomi. Lebih dari 80% dari
populasi terlibat dalam kegiatan pertanian dan perikanan. Pada tahun 1987 Produk
Domestik Bruto (PDB) Kepulauan Solomon sebesar US$144.6 juta dengan PDB perkapita
sebesar US$485, yang relatif rendah menurut standar regional. Sumber utama
devisa Solomon meliputi perikanan, biji kakao, kopra, minyak kelapa sawit dan
pariwisata.
Salah satu masalah utama dalam
pembangunan di Kepulauan Solomon adalah berbagai bencana alam, seperti gempa
bumi, letusan gunung berapi, banjir, tsunami dan lain-lain. Pada Januari 1993
bencana alam menghancurkan wilayah di pulau Guadalcanal yang merupakan daerah
penelitian ini, dan beberapa pulau kecil disekitarnya, termasuk Bellona dan
Rennell mengakibatkan beberapa penduduk meningggal dan mengakibatkan rusaknya
ekosistem sumber daya alam. Dan untuk membangun kembali membutuhkan biaya yang
cukup besar dan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Kepulauan Solomon dalam pembangunan pariwisata telah didorong oleh
gagasan-gagasan barat seperti World Wide
Fund for Nature dan Maruai Society
yang mempromosikan ekowisata sebagai kesempatan untuk melestarikan
keanekaragaman hayati melalui proses reservasi yang berarti upaya pelestarian
lingkungan hayati/biotik dengan jalan membiarkan dan tidak mengganggu
keberadaannya. Sebagian besar tanah dan sumber daya dimiliki oleh masyarakat
adat yang tinggal dalam masyarakat peDesaan yang tersebar. Salah satu fitur
dari kepulauan Solomon adalah bahwa dari 3.900 pemukiman, hanya kurang lebih 35
orang yang tinggal disitu (Harcombe, 1988). Dalam arti bahwa beberapa pemukiman
di jadikan homestay untuk wisatawan. Dan ini menjadi peluang bagi wisatawan
untuk tinggal di Desa itu dan mencari pengalaman ketika beradaptasi dengan
masyarakat setempat. Tourism Council of
the South Pacific (TCSP, 1988) berpendapat bahwa ekowisata berbasis kawasan
lindung dapat memberikan hasil jangka panjang yang lebih besar. Konsultan
Annette Less dari kelompok konservasi berpendapat bahwa untuk ekowisata yang
berfungsi sebagai wahana pelestarian tidak hanya meningkatkan devisa Negara,
tetapi dapat meningkatkan pendapatan pemilik tanah dan masyarakat lokal. Juga
sumber daya alam dapat dinikmati oleh generasi pengunjung berikutnya. Namun
demikian, masih banyak anggota Desa yang menentang pengembangan pariwisata
karena kekhawatiran dan keraguan mengenai dampak ekonomi dan budaya yang dalam
hal ini ada perbedaan antara nilai-nilai dari berbagai kelompok yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dalam pengembangan pariwisata. Seperti
Abraham Baeanesia (non-pemerintah) mengatakan bahwa “kami di kepulauan Solomon
tidak mampu membayar kemewahan hutan kami di Taman Nasional karena ada banyak
orang yang sangat tergantung pada hutan-hutan ini sebagai mata pencaharian
mereka selama bertahun-tahun. Larangan tersebut dianggap sebagai tindakan
bermusuhan karena tidak mempertimbangkan orang yang sangat miskin, dan perlu mendapatkan
uang untuk kebutuhan hidupnya (Community Aid Abroad, 1990).
Salah satu arah utama dalam pengembangan pariwisata diidentifikasi
dalam Kebijakan Pariwisata Nasional menyatakan bahwa promosi ekowisata dan
proyek pariwisata berbasis alam peka terhadap budaya dan akan meminimalisir
dampak sosial ekonomi. Dimana pengembangan pariwisata didasarkan pada fitur
alam, budaya dan sejarah yang melekat pada Negara sehingga dapat melestarikan
budaya dan lingkungan baik nasional maupun internasional (Solomon Islands
Government, 1989).
TCSP telah menempatkan sebagian besar dana ke dalam pengembangan
ekowisata di kepulauan Solomon dalam beberapa tahun terakhir. Usulan pemerintah
Kepulauan Solomon untuk mencari status warisan dunia untuk Taman Nasional yang
direncanakan adalah taktik untuk menargetkan pertumbuhan jumlah wisatawan yang
mencari pengalaman wisata alam.
Namun, disisi lain masyarakat tradisional pulau Solomon didasarkan
pada struktur sosial yang menampilkan peran “big men”, clanship dan kepemilikan
tanah adat. “Big men” masih sangat berpengaruh dalam politik kepulauan Solomon
dan masyarakat. Secara tradisioanal, tanah adat di ambil alih oleh orang-orang
tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan
bersama. Sesuai dengan saran Sofield (1992) bahwa “big men” digunakan untuk
memastikan bahwa proyek-proyek pariwisata berhasil atau tidak sesuai dengan
tujuan ekowisata. Namun sesuai studi kasus ini bahwa “big men” tidak dapat
menangani pengembangan pariwisata, yang dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat malah sebaliknya pengembangan pariwisata hanya membawa dampak
negatif terutama aspek sosial dan budaya yang nantinya akan merubah budaya
masyarakat dan merusak lingkungan disekitarnya.
Kasus serupa melanda pulau Guadalcana yang merupakan pulau
terbesar dalam kelompok kepulauan Solomon yang dipromosikan sebagai alternatif
untuk kehutanan, dan singkatnya itu adalah bencana sosial, ekonomi dan budaya
bila tanah atau sumber daya alam yang lain memiliki “bukti” kepemilikan
orang-orang tertentu yang mementingkan kepentingan individu atau di berikan
kepada orang asing. Pada Oktober 1988
sebuah proposal untuk hutan hujan padang gurun trail melintasi Guadalcanal,
dibawah kendali perusahaan pribumi pemilik tanah adat yang fitur utama tujuan Desain
adalah untuk memberikan peningkatan pendapatan, juga mendapat perdebatan dengan
pemilik tanah setempat yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah berkonsultasi
tentang proyek resort Lauvi yang diusulkan. Pada bulan mei 1992 perdebatan
proposal resort di Lauvi Lagoon menjadi
isu media di Negara itu. pada 5 mei lebih dari 25 perwakilan dihormati,
termasuk sejumlah pemimpin dari beberapa Desa di wilayah itu menulis surat
kepada pemerintah provinsi Guadalcanal yang berisi tentang penggunaan lahan
mereka yang tidak diajak berkonsultasi tentang proyek. Pernyataan dalam isi
surat itu kurang lebih seperti ini “kami prihatin bahwa situs yang ditujukkan
untuk proyek adalah fishing ground utama
kami. Kami telah menegasi hak-hak di tanah kami karena kami tidak mendapatkan
perjanjian, dan negosiasi yang tepat harus dilakukan untuk kepuasan kami”. Pada
8 mei siaran pers dikirim ke Komisis Penyiaran Kepulauan Solomon (SIBC) dan
singkat cerita proyek resort tidak memiliki dukungan luas dari masyarakat
setempat karena kurangnya konsultasi dan keprihatinan atas dampak pariwisata. Orang-orang
sangat menentang proposal proyek untuk Lauvi Lagoon resort, dan mereka menDesak
Kementerian untuk menarik seluruh usulan yang berarti setiap langkah lebih
lanjut akan menyebabkan kehancuran.
Kesimpulan
Kepulauan Solomon memiliki sumber daya alam dan budaya yang unik
sehingga sangat strategi untuk dikembangkan pariwisata umumnya dan ekowisata
khususnya. Pengembangan pariwisata dan ekowisata yang ada di Negara Kepulauan
Solomon bukan hanya masalah menyeimbangkan ekonomi dan politik tetapi berkaitan
dengan bagaimana mengintegrasikan ekonomi, politik dengan llingkungan
masyarakat. Meskipun berbagai pihak organisasi pariwisata, kelompok konservasi,
konsultan dan pemberi bantuan mempromosikan ekowisata sebagai alternatif untuk
menggerakkan ekonomi dan melestarikan keanekaragaman hayati melalui proses reservasi, namun hal
yang penting diperhatikan adalah masyarakat adat setempat. Pengembangan
ekowisata di Kepulauan Solomon mendapat perdebatan dari masyarakat adat yang
disebabkan oleh tidak adanya konsultasi lahan yang akan dijadikan proyek wisata
kepada masyarakat setempat, dimana lahan/tanah tersebut merupakan warisan dari
generasi sebelumnya dan menjadi sumber kehidupan mereka yang nantinya juga akan
di wariskan pada generasi kedepan.
Tinjauan Kritis
Menurut saya artikel ini sangat menarik, bahasa yang digunakan
cukup mudah untuk dipahami. Artikel ini termasuk saran bagi pemerintah,
investor, masyarakat (stakeholder)
sebagai pemegang kebijakan dalam suatu pengembangan pariwisata khususnya. Ini
merupakan hal yang perlu di perhatikan dalam setiap pengembangann pariwisata.
diperlukan perencanaan yang matang dan harus melibatkan masyarakat setempat
dalam kegiatan pariwisata. juga perlu diperhatikan bahwa pengembangan
pariwisata tidak terlepas dari tanah atau lahan yang belum diketahui stausnya. Serta
perlu diperhatikan bahwa setiap overdevelopment pariwisata dapat merusak budaya tradisional bahkan kualitas lingkungan yang dampaknya
akan dirasakan baik pemerintah, maupun masyarakat sekitarnya.
Tulisan ini
memiliki beberapa kekurangan seperti: (1) penulis tidak menunjukkan referensi
tentang AMDAL yang sangat erat hubungannya dengan pariwisata termasuk ekowisata
yang di ceritakan di Kepulauan Solomon; (2) belum terlihat adanya pengaruh
homestay terhadap masyarakat sekitar dari sisi ekonomi, meskipun penulis
memaparkan data tentang kunjungan wisatawan yakni pada tahun 1970-1993
mendatangkan wisatawan yang cukup banyak.
DAFTAR
PUSTAKA
Richard Butler and Thomas Hinch, 1996. Tourism and indigenous
Peoples. International Thomson Business Press. ITP An International Thomson
Publishing Company.
0 komentar:
Posting Komentar